|
mengatasi phobia anak |
"Ibuuu...ada
ayam, aku takut!" jerit Susan, seorang bocah prasekolah sambil berlari
kencang dan mencoba berlindung di belakang ibunya saat melihat hewan
peliharaan tetangganya melintas di depannya. "Ah...masa udah gede
takut sama ayam. Kamu, kan, suka makan ayam?" goda si ibu. Memang
umumnya rasa takut pada anak muncul karena anak sering ditakut-takuti.
Umpamanya dengan ucapan, "Awas, lo, kalau masih nangis terus dan enggak mau diem, nanti kamu dipatuk ayam." Atau "Pokoknya, kalau makannya enggak habis, Mama panggilin dokter biar nyuntik kamu!"
Memang,
sih, metode semacam ini amat tokcer untuk "memaksa" anak mau menuruti
keinginan orang tuanya. Alhasil, anak selalu takut jika melihat bahkan
mendengar suara sosok siapa pun atau binatang yang baginya telanjur
dianggap menyeramkan. Padahal sosok maupun binatang yang selama ini
dianggap menakutkan si kecil tersebut sebetulnya sama sekali tak
berbahaya. "Itulah akibat yang mestinya dicermari kalau orang tua hanya
mencari jalan pintas dengan cara menakut-nakuti anak,".
Bentuk
ekspresi ketakutan itu sendiri bisa macam-macam. Biasanya lewat
tangisan, jeritan, bersembunyi atau tak mau lepas dari orang tuanya.
Untungnya, seperti dijelaskan, rasa takut ini akan hilang dengan
sendirinya seiring dengan berjalannya waktu. "Saat anak merasa aman
dengan dirinya sendiri maupun lingkungannya, hilanglah rasa takut tadi.
Tentu saja perlu dukungan orang tua." Yang jadi masalah adalah bila
rasa takut mengendap dan tak teratasi sehingga berpengaruh pada
aktivitas sehari-hari anak. "Bahkan bisa mengarah jadi ketakutan yang
bersifat patologis. Malah bisa fobia alias ketakutan berlebih karena
pernah mengalami kejadian tertentu." Misalnya, gara-gara takut tikus,
tiap kali melihat hewan itu, ia akan menjerit ketakutan. "Tapi umumnya
jarang muncul pada anak batita, kok,".
BERIMAJINASI LEWAT ROLE PLAY
Bermain
peran, menjadi satu satu cara yang cukup efektif untuk mengatasi rasa
takut anak. Dalam permainan ini si anak memerankan sosok yang selama
ini dianggap menakutkannya. Ketakutan yang bercokol dalam diri si kecil
dimanifestasikan melalui cara ini, hingga diharapkan dia tak memiliki
rasa takut lagi di kemudian hari.
Bermain
peran juga dapat membuat anak pandai berimajinasi karena memerankan
sosok yang bukan dirinya. Misalnya, dia mengkhayalkan dirinya menjadi
dokter yang menurutnya termasuk sosok menyeramkan. Melalui cara ini,
anak belajar berempati pada posisi orang lain. Selain belajar
bereksplorasi dan berimajinasi serta meningkatkan kemampuan verbal,
dengan bermain peran anak juga diharapkan dapat mengatasi rasa takut
dalam dirinya.
Berikut ini rasa takut yang banyak dialami anak dan cara mengatasinya dengan cara bermain peran:
1. Takut Dokter
Anak
biasanya takut dokter karena pengalamannya pernah disuntik yang
ternyata rasanya cukup menyakitkan bagi mereka. Maka tak heran, baru
memasuki ruangan dokter atau melihat peralatan sampai mencium "bau"
obatnya saja, anak sudah menjerit-jerit atau menangis histeris. Apalagi
kalau saat diperiksa dan disuntik. Penyebabnya
selain karena punya pengalaman traumatik, bisa jadi ia dulu kenyang
ditakut-takuti bakal disuntik dan sebagainya oleh orang tuanya.
* Cara mengatasinya:
Anak
memainkan peran sebagai dokter, sedangkan orang tua atau kakak/adik
berpurapura Menjadi pasiennya. Gunakan mainan berbentuk alat-alat yang
biasa digunakan dokter, seperti stetoskop. Biarkan anak bereksplorasi
dan berimajinasi memerankandokter yang sedang memeriksa pasien. Secara
tak langsung, anak Menjadi tahu bagaimana cara dokter menghadapi pasien
pasien yang takut diperiksa. Semisal dengan cara menenangkannya,
"Jangan takut, ya, Bu-Pak. Saya Cuma periksa sebentar aja, kok.
Kalaupun harus disuntik, enggak sakit, kok. Kan, supaya lekas sembuh."
Dengan berpura-pura memberikan nasihat seperti itu, bukan tidak mungkin
sosok dokter justru menarik minatnya dan malah bercita-cita menjadi
dokter.
2. Anak Takut pada orang yang baru dikenal
Tak
jarang anak-anak tampak takut pada orang yang pertama kali ditemuinya.
Dia akan berusaha menjaga jarak, apalagi orang yang menghampirinya itu
berwajah kurang "bersahabat". Yang juga kerap terjadi, orang tua
terkesan berlebih saat menasihati anaknya untuk tidak terlalu akrab
dengan orang yang tidak dikenal. "Awas, kamu jangan deket-deket sama
orang yang enggak kamu kenal. Bisa-bisa kamu nanti diculik, lo!" Memang,
sih, ada segi positifnya bila orang tua senantiasa wanti-wanti si
kecil agar waspada terhadap orang lain atau yang baru dikenalnya. Tapi
tentunya bukan dengan cara berlebihan yang menyebabkan si kecil malah
selalu ketakutan pada orang lain.
* Cara mengatasinya:
Ajak
anak bermain tamu-tamuan. Ikutkan pula teman-temannya. Posisikan dia
untuk bergantian memainkan peran sebagai tamu yang berkunjung ke rumah
orang lain, atau sebagai nyonya rumah yang kedatangan tamu. Bermain
peran untuk mengikis rasa takut pada orang lain juga bisa dilakukan
dalam berbagai situasi, seperti di toko, sekolah dan tempat keramaian
lainnya.
3. Anak Takut Pada Binatang
Adalah
hal yang wajar bila anak takut pada binatang yang baru pertama kali
dilihatnya. Apalagi bila hewan itu kelihatannya buas dan menyeramkan.
Hanya saja sungguh sayang bila orang tua tak berusaha menjelaskan dan
memperkenalkan anak pada binatang-binatang yang ditemuinya tadi. Seperti
mengajaknya mengelus-elus bulu kucing atau memberi makanan pada induk
ayam dan anak-anaknya. Sangat tidak bijaksana pula jika orang tua malah
menambah rasa takut anak pada binatang yang sebenarnya relatif tak
membahayakan. "Awas, jangan dekat-dekat, nanti kamu dicakar kucing."
* Cara mengatasinya:
Anak
bermain peran sebagai sosok pemandu/pelatih sirkus yang sehari-hari
melatih binatang. Ini akan menyadarkan anak bahwa binatang pada dasarnya
bisa dilatih untuk menurut dan diajak bekerja sama. Cara lain adalah
dengan bermain sandiwara di panggung yang menggelar cerita tentang
hewan-hewan sebagai sahabat manusia.
4. Anak Takut Hantu
Banyaknya
tayangan televisi yang menyajikan program acara bertajuk cerita hantu
tak ayal ikut mempengaruhi kadar rasa takut anak-anak. Ironisnya, tak
sedikit orang tua yang menjadikan cerita hantu ini sebagai "senjata"
untuk menakuti-nakuti si kecil. Meskipun rasa takut pada hantu bisa saja
terjadi akibat faktor "genetik" berupa sikap penakut dari orang
tuanya.
* Cara mengatasinya:
Anak
bermain peran sebagai hantu yang selalu membantu orang yang kesulitan
seperti film/buku cerita Casper. Atau bisa juga berperan sebagai
penyihir yang baik hati. Jadi, anak mempersepsikan hantu bukan sebagai
sosok yang menakutkan.
5. Anak yang Takut Masuk Sekolah
Anak
yang pertama kali masuk TK awalnya takut beradaptasi dan
bersosialisasi dengan guru dan teman-teman barunya. Terlebih bila orang
tua juga tak berusaha memperkenalkan si kecil pada temannya.
* Cara mengatasinya:
Sebelum
didaftarkan masuk TK, anak diajak bermain sekolah-sekolahan. Anak
bermain peran sebagai murid atau guru. Saudara sepupu si kecil atau
tetangganya yang seusia bisa dilibatkan untuk berpura-pura sebagai
murid. Sehingga anak tak takut dan tak canggung lagi di hari pertamanya
masuk TK.
6. Anak yang Takut Berpisah (SEPARATION ANXIETY)
Anak
cemas harus berpisah dengan orang terdekatnya. Terutama ibunya, yang
selama 3 tahun pertama menjadi figur paling dekat. Figur ibu, tak selalu
harus berarti ibu kandung, melainkan pengasuh, kakek-nenek, ayah, atau
siapa saja yang memang dekat dengan anak. Kelekatan anak dengan sosok
ibu yang semula terasa amat kental, biasanya akan berkurang di
tahun-tahun berikutnya. Bahkan di usia 2 tahunan, kala sudah
bereksplorasi, anak akan melepaskan diri dari keterikatan dengan ibunya.
Justru akan
jadi
masalah bila si ibu kelewat melindungi/overprotektif atau hobi
mengatur segala hal, hingga tak bisa mempercayakan anaknya pada orang
lain. Perlakuan semacam itu justru akan membuat kelekatan ibu-anak
terus bertahan dan akhirnya menimbulkan kelekatan patologis sampai si
anak besar. Akibatnya, anak tak mau sekolah, gampang nangis, dan sulit
dibujuk saat ditinggal ibunya.Bahkan si ibu beranjak ke dapur atau ke
kamar mandi pun, diikuti si anak terus. Repot, kan? Belum lagi ia jadi
susah makan dan sulit tidur jika bukan dengan ibunya.
*Cara Mengatasinya:
Jelaskan
pada si kecil, mengapa ibu harus pergi/bekerja. Begitu juga penjelasan
tentang waktu meski anak usia ini belum sepenuhnya mengerti alias
belum tahu persis kapan pagi, siang, sore, dan malam serta pengertian
mengenai berapa lama masing-masing tenggang waktu tersebut. Akan sangat
memudahkan bila orang tua menggunakan bahasa yang mudah dimengerti.
Semisal, "Nanti, waktu kamu makan sore, Ibu sudah pulang." Jika tak bisa
pulang sesuai waktu yang dijanjikan, beri tahu anak lewat telepon.
Sebab, anak akan terus menunggu dan ini justru bisa menambah rasa takut
anak. Ia akan terus cemas bertanya-tanya, kenapa sang ibu belum datang.
7. Anak Yang Takut Gelap
Biasanya
juga gara-gara orang tua. "Mama takut, ah. Lihat, deh, gelap, kan?"
Takut pada gelap bisa juga karena anak pernah dihukum dengan dikurung di
ruang gelap. Bila pengalaman pahit itu begitu membekas, bukan tidak
mungkin rasa takutnya akan menetap sampai usia dewasa. Semisal keluar
keringat dingin atau malah jadi sesak napas setiap kali berada di ruang
gelap atau menjerit-jerit kala listrik mendadak padam.
*Cara Mengatasinya:
Saat
tidur malam, jangan biarkan kamarnya dalam keadaan gelap gulita.
Paling tidak, biarkan lampu tidur yang redup tetap menyala. Cara lain,
biarkan boneka atau benda kesayangannya tetap menemaninya, seolah
bertindak sebagai penjaganya hingga anak tak perlu takut.
8. Anak yang Takut Berenang
Sangat
jarang anak usia batita takut air. Kecuali kalau dia pernah mengalami
hal tak mengenakkan semisal tersedak atau malah nyaris tenggelam saat
berenang hingga hidungnya banyak kemasukan air.
*Cara Mengatasinya:
Lakukan
pembiasaan secara bertahap. Semisal, awalnya biarkan anak sekadar
merendam kakinya atau menciprat-cipratkan air di kolam mainan sambil
tetap mengenakan pakaian renang. Bisa juga dengan memasukkan anak ke
klub renang yang ditangani ahlinya. Atau dengan sering mengajaknya
berenang bersama dengan saudara/teman-teman seusianya. Tentu saja sambil
terus didampingi dan dibangun keyakinan dirinya bahwa berenang sungguh
menyenangkan, hingga tak perlu takut. Kalaupun anak tetap takut,
jangan pernah memaksa apalagi memarahi atau melecehkanrasa takutnya.
Semisal, "Payah, ah! Berenang, kok, takut!".
BERKEMBANG JADI FOBIA
Jika sejak kecil anak selalu takut, sementara tak ada dorongan dari orang tua untuk mengatasi rasa takut tersebut, tidak tertutup kemungkinan ketakutannya bias berkembang menjadi fobia/takut yang berlebihan. "Kalau tak diantisipasi, bisa menjadi sesuatu yang menghambat segalanya. Ke mana-mana takut, hingga jiwanya juga tak berkembang,".
Padahal
sebagai orang tua harusnya tahu bahwa anak membutuhkan rasa aman dan
nyaman. Bila lingkungan malah membuat anak makin merasa takut, maka
jangan harap bakal tercipta rasa aman dan nyaman. Kelak jika suasana
takut itu terus-menerus "dipelihara", justru proses bermain dan belajar
si anak akan terganggu juga.
Selain
karena lingkungan yang tak mendukung anak untuk mengatasi rasa
takutnya, ternyata penelitian juga menunjukkan bahwa fobia itu
"ditularkan" oleh orang tua, terutama sang ibu. Pasalnya, sosok ibu
lebih memiliki kedekatan emosional dengan si anak daripada dengan ayah.
Contoh konkret, bila ibu takut pada suasana gelap, maka secara otomatis
bila kondisi itu muncul, ibu secara spontan akan mencengkeram tangan
si kecil. Dengan kata lain bisa membuat anak ikut-ikutan takut.
Nah,
untuk menghilangkan fobia takut ini dibutuhkan proses dan latihan.
Yang patut diperhatikan, ketakutan irasional ini bisa menggeneralisasi
alias bisa berdampak sangat luas dan parah. Misalnya, anak yang takut
ayam, jangankan bertemu dengan hewan petelur itu, mendengar suara ayam
berkotek saja sudah bergidik. Atau contoh lain jika dimasa kecilnya
selalu ditakut-takuti buaya, melihat cicak yang memiliki kemiripan
dengan buaya pasti sudah mampu membuatnya takut.
Kasus yang
cukup parah adalah seoarang anak yang secara tak sengaja menyaksikan
kilatan petir di siang hari diiringi suara yang menggelegar sehingga
membuatnya terkejut bukan kepalang. Apa akibatnya? Dia takut pada
suasana siang hari. Anak itu meminta orang tuanya untuk menutup rapat
jendela sekaligus gordennya serta tak boleh ada nyala lampu di rumahnya.
Si anak justru senang pada suasana gelap karena dia beranggapan jika
gelap gulita takkan ada petir. Dampak yang paling parah, sepanjang hari
dia terus menutup telinganya meskipun tak ada mendung atau hujan yang
rawan muncul petir bersahutan. "Generalisasinya bisa sangat luas,". Bagi
anak yang takut dokter, perasaan ini dapat tergeneralisasi pada
hal-hal lain yang memang masih berhubungan. Umpamanya, melihat orang
yang berbaju putih saja dia akan ketakutan. Atau ketika mendengar orang
yang menyebutkan kata "dokter", ia langsung berdebar-debar meski tak
ada sangkut paut dengan dirinya. Tak heran begitu masuk ruang periksa
atau bertemu dengan dokter dalam sosok yang nyata, pastilah dia
menjerit-jerit dan menangis ketakutan.
Peran Aktif Orangtua
Menurut
literatur, anak usia prasekolah mulai mengetahui sesuatu atau sosok
yang menakutkan dari buku-buku cerita seperti dongeng atau melalui
video, film kartun dan tayangan televisi lainnya yang bertubi-tubi.
Misalnya sajian bertopik kriminalitas atau kisah-kisah bernuansa
misteri/hantu.
Kebiasaan
menakuti-nakuti anak sudah saatnya ditinggalkan. Mestinya orang tua
menyadari efek berkepanjangan yang bisa ditimbulkan. Kalaupun anak susah
diatur, takada salahnya mencari cara lain yang lebih bijak. Yang
pasti, jangan sampai mengusik rasa aman dan nyaman si prasekolah. Orang
tua juga seyogyanya menjadi sosok teladan bagi si kecil. Artinya, bila
ibu/bapak sendiri adalah seorang yang penakut, maka jangan heran bila
sifat ini "menular" pada anak. Jadi, setakut apa pun, orang tua harus
berupaya untuk tampil yakin dan tetap tenang, terutama ketika berada di
hadapan anak.
Usaha
lainnya adalah mencoba membangun sikap positif. Misalnya, memberikan
penjelasan kepada anak bahwa sosok dokter itu baik hati dan pintar.
Alhasil, rasa takut anak terhadap dokter, klinik, atau rumah sakit
berangsur-angsur bisa terkikis bahkan lenyap.
Ada
baiknya pula orang tua meluangkan waktu untuk mendengarkan dengan
telinga dan hati, apa gerangan yang ditakutkan anak. Tentunya tak
sekadar menyimak pembicaraan si kecil, berilah dukungan yang positif dan
penjelasan yang menenangkan agar anak dapat mengatasi rasa takutnya.